Laman

Senin, 12 Agustus 2013

SIMBOL-SIMBOL KEJAHATAN Jean Paul Gustave Ricoeur



1.      PENGANTAR
1.1.   Riwayat Hidup dan Karya Paul Ricoeur
Paul Ricoeur dilahirkan di Valence, Prancis Selatan, tahun 1913 dan menjadi yatim piatu dua tahun kemudian. Ia berasal dari keluarga Kristen Protestan yang saleh dan dianggap sevagai salah seorang cendikiawan Protestan yang terkemuka di Prancis[1]. Ia dibesarkan di rennes. Di Lycee ia pertama kali berkenalan dengan filsafat melalui R. Dalbiez, seorang filsuf berhaluan thomisitis yang terkenal karena dialah salah seorang Kristen pertama yang mengadakan suatu studi besar tentang psikoanalisa Freud (1936). Ia memperolah licence de philosphie  pada tahun 1933, lalu mendaftar pada Universitas Sorbone di Paris guna mempersiapkan diri untik agregation de philosophie yang diperolehnya pada tahun 1935. Di Paris ia antar lain berkenalan dengan gabriel Marcel yang akan mempengaruhi pemikirannya secara mendalam. Setelah mengajar setahun di Colmar, ia dipanggil untuk memenuhi wajib militer (1937-1939). Pada waktu mobilisasi ia masuk lagi ketentaraan Prancis dan dijadikan tahanan perang sampai akhir perang (1945). Dalam tahanan di Jerman itu ia mempelajari karya-karya Husserl, Heidegger dan jaspers. Bersama dengan sahabat dan sesama tahanannya, Mikel Dufrenne, ia menulis buku Karl Japers at la philosophie de l’existence (1947) (Karl Jaspers dan Filsafat Eksistensi). Pada tahun yang sama diterbitkan juga bukunya Gabriel Marcel et Karl Jaspers, studi perbandingan antara dua tokoh eksistensialisme yangmenarik banyak perhatian pada waktu itu.
Sesudah perang ia menjadi dosen filsafat pada College Cevenol, pusat Protestan internasional untuk pendidikan dan kebudayaan di Chambon-sur-Lignon (Haute Loire). Tahun 1948 ia mengganti Jean Hyppolite sebagai profesor filsafat di Universitas Strasbourg. Tahun 1950 ia meraih gelar docteurs es letters. Sebagai tesis utama diajukannya jilid pertama dari Philosphie de la volonte (Filsafat Kehendak) yang diberi anak judul Le volonte et l’involontiare (1950) (Yang Dikehendaki dan yang Tidak Dikehendaki) dan sebagai tesis tambahan terjemahan karya Husserl Ideen I dengan pendahuluan dan komentar, yang sudah mulai dikerjakan dalam tahanan diJerman. Dua karya ini mengakibatkan Ricoeur segera dianggap sebagai seorang ahli terkemuka di bidang fenomenologi. Sekitar waktu itu Ricoeur mepunyai kebiasaan setiap tahun membaca karya-karya lengakap salah seorang filsuf besar: dari Plato serta Aristoteles sampai dengan Kant. Dengan cara demikian ia memperoleh suatu pengetahuan mendalam dan luas tentang seluruh tradisi filsafat barat. Dengan cara itu pula Ia tak pernah membiarkan diri terjebak dalam satu mode filosofis yang sempit, misalnya seperti eksistensialisme pada waktu itu. Di kemudian hari ia mendalami serta menggunakan juga filsafat analitis (Wittgenstein, Austin, Searle, dan lain-lain) dan dengan demikia termasuk sedikit sekali filsuf Prancis yang mengenal tradisi filosofis khas nggris itu. Tetapi pandangan luas dan terbuka Ricoeur tidak terbatas pada wilayah filsafat saja, ia menyoroti juga berbagai pokok politis, sosial, kultural, edukatif, dan teologis. Jasa-jasanya untuk teologi misalnya menjadi alasan bagi Universitas katolik Nijmegen, Nederland, untuk menganugerahinya gelar “doktor teologi honoris causa”  (1968). Amat sering ia diundang  sebagai pembicara pada kongres, seminar, atau lokakarya – di dalam dan luar negri- tentang beraneka ragam tema, di mana ia selalu tampil sebagai filsuf yang menyoroti tema bersangkutan dari sudut pandang filosofisnya. Ia juga banyak menulis dalam majalah Esprit, yang didirikan tahun 1932 oleh tokoh personalisme Kristen, Emmanuel Mounier (1905-1950) , dan majalah Christianisme social, organ bagi gerakan sosial Protestan di Prancis.
Ricoeur diangkat sebagai profesor filsafat di Universitas Sorbone pada tahun 1956. Tahun 1960 ia mempublikasikan jilid kedau dari Philosophie de la volonte dengan anak judul Finitude et culpibilite (Kberhinggan dan Kebersalahan); jilid kedua ini terdiri atas dua bagian  (dua buku tersendiri) masing0masing berjudul La symbolique du mal (Simbol-Simbol tentang Kejahatan). Ceramah-ceramah yang diberikan di Yale University, Amerika Serikat (1961), dan Universitas Leuven, Belgia (1962), dikembangkan lebih lanjut menjadi karya besar Del l’interpretaion. Essai sur Freud (1965) (Perihal Interpretasi. Esei tentang Freud)
Karena Universitas Sorbonne sudah lama tidak sanggup menampung jumlah mahasiswa yang membengkak terus, sekitar tahun 1950-an pemerintah Prancis merencanakan suatu kampus universiter baru di Nanterre, pinggiran kota Paris. Di situ serentak juga diusahakan suatu pembaharuan universitas dengan metode-metode pengajaran yang baru dan tempat tinggal bagi mahasiswa-mahasiswa dan dosen-dosen di kampus yang sama. Karena ia sudah lama ingin mendapat kontak lebih erat dengan para mahasiswa dan karena pembahuruan perguran tinggi dianggapnya suatu tantangan yang tidak boleh dilewti, Ricoeur mengajukan permohonan agar dapat dipindahkan ke Nantrre, dan dikabulkan (1966).
Tetapi justru di kampus naterre dengan gedung-gedung beton raksasa di tengah perkampungan buruh menjadi pusat “revolusi mahasiswa” yang pecah dua tahun kemudian dan nayris menjatuhkan pemerintahan jendral de Gaulle. Konon mahasiswa Ricoeur menjadi pelopor dalam gerakan ini.   Ketika kerusuhan terjadi, dekan fakultas sastra mengundurkan diri. Seteleh dibujuk Ricoeur akhirnya menerima jabatn itu, dan menjadi dekan  selama satu tahun (Maret 1969-Maret 1970). Baginya periode itu menjadi tahunyang sangat berat.
Sesudah pengalaman pahit itu, ia mengajar sebagai profesor tamu di Universitas Leuven, Belgia. Sejak tahun 1973 ia kembali Naterre (sekarang disebut Universitas Paris X) dan di samping itu setiap tahun mengajar juga beberapa bulan di Universitas Chicago. Di Paris ia menjadi direktur Centre d’etudes phenomenologiques et hermeneutiques (Pusat studi tentang fenomenologi dan hermeneutika). Dan dalam periode ini banyak menaruh perhatian pada masalah-masalah filsafat bahasa dan hermeneutika. Sebuah buku tebaly ang membawakan delapan studi tentang metafora terbit tahun 1978 dengan judul La metaphore vive (Metafora yang hidup).
Ricoeur meninggal dunia pada tanggal 20 Mei 2005 dalam usia 92 tahun. Tahun sebelumnya ia menutup karier sebagai penulis selama 70 tahun dengan karangan Parcours de la reconnaissanse (Perjalanan Utang Budi)[2].

2.      KARYA-KARYA
Paul Ricoeur (1913–2005) secara luas dikenal sebagai salah satu filsuf yang khas dalam zaman ini. Dari antara berbagai bukunya, terdapat dua volume filsafat kehendak, yakni,  Freedom and Nature: The Voluntary and the Involuntary (1950), dan dua bagian volume yang berjudul Finitude and Culpability, yang bagian-bagiannya antara lain Fallible Man (1960) and The Symbolism of Evil (1960); Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation (1965); The Rule of Metaphor (1975),  tiga volume Time and Narrative (1983-1985); bahan kuliah di Gifford yang dipublikasikan,seperti Oneself as Another (1990,); Memory, History, Forgetting (2000) dan The Course of Recognition (2004). Sebagai tambahan atas buku-bukunya, terdapat lebih dari 500 essay, yang dikumpulkan dala 10 volume. Di antaranya yang terkenal adalah  From Text to Action (1986) dan  The Just (1995).
Buku-bukunya antara lain:
  • Freedom and Nature: The Voluntary and the Involuntary
  • History and Truth,
  • Fallible Man
  • The Symbolism of Evil
  • Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation
  • The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics
  • Political and Social Essays
  • The Rule of Metaphor: Multi-Disciplinary Studies in the Creation of Meaning in Language,
  • Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning
  • The Philosophy of Paul Ricoeur: An Anthology of his Work
  • Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation
  • Time and Narrative, 3 vols
  • Lectures on Ideology and Utopia
  • From Text to Action: Essays in Hermeneutics II
  • À l’école de la philosophie.
  • Le mal: Un défi à la philosophie et à la théologie.
  • Oneself as Another.
  • A Ricoeur Reader: Reflection and Imagination.
  • The Just
  • Critique and Conviction
  • Memory, History, Forgetting
  • Le Juste II.
  • The Course of Recognition
3.      MAKNA SIMBOL
Hermeneutika dan interpretasi tidak pernah lepas dari simbol-simbol. Salah satu simbol adalah bahasa. Di sini batasan pembahasannya terletak pada usaha menafsirkan bahsa tulisan yang tertuang dalam kata-kata. Sebagai sebuah simbol, kata-kata memilki makna yang dan intensi tertentu. Dengan demikian, tujuan dari hermeneutika adalah menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol (kata-kata) dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum diketehui dan tersembunyi di dalam simbol-simbol tersebut. Adanya simbol, mengundang kita untuk berpikir sehingga simbol itu sendiri kemudian menjadi kaya akan makna dan kembali makna yang asli.
Simbola adalah lambang yang mewakili nila-nilai tertentu. Meskipun simbol bukanlah nila itu sendiri, namun simbol sangata dibutuhkan untuk kepentingan penghayatan akan nila-nilai yang diwakilnya. Simbol dapat digunakan untuk apa saja. Misalnya saja untuk ilmu pengetahuan, kehidupan sosial dan keagamaan. Bentuk simbol tidal hanya berupa benda kasta mat, namun juga memlalui gerakan dan ucapan. Simbol juga dapat digunakan sebagai infrasturktur bahasa yang dikenal dengan bahasa simbol.
Kerap istilah simbol dicampurkan dengan istilah tanda. Misalnya cukup biasalah berbicara tentang ‘simbol-simbol’ matematis, dan tentang ‘tanda-tanda’ religius. Akan tetapi dari pihak tinjauan prinsipal lebih baik mereka dipisahkan dengan jelas.
Simbol berkaitan dengan kekayaan komunikasi manusiawi. Simbol membawa penandaan dalam hidup manusia ke taraf yang paling mendalam. Komunikasi manusiawi bisa menjadi begitu intim dan fundamental, sehingga terlibat seluruh pemahaman dan perasaannya, dan sudah tidak cukuplah cara berbicara dan berkomunikasi dengan tanda yang biasa-biasa. Tidak semua yang efesiensi praktis. Justru simbol memungkinkan bagi manusia untuk menintegrasikan isi paling mendalam itu dalam pergaulan dan kehidupan secara teratur. Bahkan tidak ada jalan lain: antarsubjetivitas secara esensial bersifat simbolik, dan simbol itu konstitutif bagi realitas antropologis. Tanpa simbol manusia tidak dapat bergaul dan berkomunikasi dengan lingkungannnya secara tuntas dan maksimal[3].

4.      SIMBOL-SIMBOL KEJAHATAN
Ricoeur mempelajari kejahatan konkret dalam eksistensi manusia. Untuk dapat menyelidiki kejahatan sebagai kenyataan Ricoeur tidak bertolak dari pandangan-pandangan dan teori-teori kejahatan, ia ingin memperlihatkan bagaimana manusia – dan konkret itu berarti manusia beragama – mengalami kejahatan – atau lebih tepat alagi – bagaimana manusia itu mengakui kejahatan[4]. Kejahatan itu bersifat simbolis. Untuk memahami itu, Ricoeur merefleksikan tiga symbol yang digunakan manusia untuk mengungkapkan pengalamannya, yaitu; noda, dosa dan kebersalahan.
a.              Noda adalah bahwa  kejahatan dihayati sebagai sesuatu ‘pada dirinya’ (in itself)[5]. Kejahatan itu dianggap sebagai seuatu yang merugikan. Noda itu datang dari luar dan dengan cara  magis menimpa manusia. Kejahatan ini adalah kejadian  yang obyektif dan karena itu dimensi simbolis tidak dapat hilang seluruhnya dari penghayatan mengenai kejahatan.
b.              Dosa berarti manusia melakukan suatu kejahatan  dihadapan Tuhan[6]. Symbol ini pertama kali timbul dalam kesadaran religious bangsa Israel pada zaman nabi-nabi yang selalu menekakan bahwa jika tidak bertindang sesuai dengan perintah tuhan adalah dosa dan akan mendapatkan kutuk. Di sini, berbuat jahat tidak lagi dipahami sebagai pelanggaran atas tata susunan magis dan anonym, namun lebih berupa ketidaktaatan pada Allah. Dosa dipahami sebagai terputusnya hubungan dialogal antara manusia dengan Tuhan. Manusia mulai meninggalkan pedoman hidup dari Tuhan dan  mengikuti jalan setan. Selain itu, simbol dosa pun menunjuk pada situasi di luar manusia, seperti perbudakan.
c.              Kebersalahan merupakan symbol yang digunakan untuk mengungkapkan terutama beban dan kesusahan yang memberatkan dan menekan hati nurani. Kesalahan berakar dari perbuatan pribadi yang bebas, bukan lagi dari kuasa luar yang menyerap pribadi tersebut. Karena itu, dituntut suatu tangung jawab atas tindakan tersebut. Berbuat salah dipahami sebagai suatu pengkhianatan terhadap hakikat diri yang sebenarnya, bukan seperti dosa sebagai suatu pemberontakan terhadap Tuhan.

5.      MITOS
Setelah mempelajari simbol-simbol dasar di atas, Ricoeur mempelajari mitos-mitos dari mana asalnya kejahatan dan bagaimana kesudahannya atau cara mengatasinya. Mitos-mitos boleh disebut “symbol-simbol sekunder”, karena membeberkan dalam bentuk cerita symbol-simbol dasar yang dipelajari sebelumnya, yang meupakan symbol-simbol primer[7]. Menurut Ricoeur, ada tiga fungsi mitos tentang kejahatan yaitu;[8]
1.              Menyediakan universalitas konkret bagi pengalaman manusia tentang kejahatan
2.              Membawa suatu orientasi dan ketegangan dramatis dalam hidup manusia
3.              Menjelaskan peralihan dari keadaaan manusia yang asali keadaannya tidak berdosa sekarang penuh noda, dosa, dan kebersalahan.
Mitos mempunyai suatu dimensi ontologis, karena memandang hubungan antara keadaan manusia yang asali dengan keadaan historisnya yang sekarang ditandai alienasi. Mitos tidak sama dengan alegori sebab bahasa mitis tidak pernah diganti begitu saja dengan bahasa rasional. Orang yang akan mempelajari tentag mitos harus  mulai dengan mengadakan klasifikasi. Ricoeur membedakan empat macam mitos yang menyatakan awal mula dan kesudahan kejahatan, yaitu : mitos kosmis, tragis, Adam dan orfis.
a.              Mitos kosmis. Dalam mitos ini kejahatan disamakan dengan khaos (keadaan kacau balau) yang terdapat pada awal mula dan sebaliknya keselamatan atau pembebasan disamakan dengan penciptaan dunia[9].
b.              Mitos tragis, menurut bentuknya mitos ini paling jelas dijumpai dalam tragedi-tragedi Yunani (khususnya yang ditulis Aiskhylos). Dalam pandangan ini, dewa merupakan asal-usul kejahatan. Ada beberapa istilah untuk dewa  yang tidak berwujud persona yaitu Moira (suratan nasib), theos (ketuanan) dan kakos daimon (roh jahat). Kejahatan merupakan takdir yang menimpa seseorang karena ketidaktahuan atau kebutaan. Tragik memuncak apabila sang palawan menentang nasib yang telah ditkdirkan dan diramalkan tentang dia. Dengan itu, sang pahlawan mewujudkan nasib yang menimpa dirinya dengan tidak mengenal apapun. Drama ketegangan itu menimbulkan fobos (ketakutan) akan kehidupan insani yang terancam dan terkutuk, tetapi juga elos (kasihan) dengan eksisitensi manusia yang karena ketakhadiran ilahi menjadi jahat dan penuh kesusahan[10].
c.              Dalam mitos tentang Adam yang diceritakan dalam kitab Kejadian, manusia sendirilah sumber dosa itu. Mitos ini mengungkapkan dengan cara mitis penghayatan bangsa Israel mengenai asal mula kejahatan sebagai mana terdapat dalam pembahasan tentang dosa[11]. Kejahatan berasal dari lubuk hati manusia karena manusia tidak setia. Menurut Ricouer, ada dua segi dan akibat dari  mitos Hibrani yaitu menurut skema pertama, peralihan dari keadaan baik ke keadaan jahat berlangsung karena satu orang, satu perbuatan dan dalam satu saat. Satu orang yaitu Adam mewakili seluruh umat manusia, bersama dengan diri Adam semua manusia jatuh dalam dosa. Dengan Adam memakan buah terlarang, situasi hidup manusia berubah menjadi keadaan terkutuk.
Di samping itu, terdapat suatu skema kedua di mana terjatuhnya manusia digambarkan sebagai suatu drama yang mengikutsertakan beberapa tokoh dan fase. Ada peran dari tokoh lain yaitu Hawa dan ular. Ular melambangkan kejahatan yang berada di luar manusia, seperti halnya dengan simbol noda. Ungkapan dari luar mau menekankan bahwa kejahatan memang sudah ada sebelum manusia melakukan. Ular ada sebelum manusia memproyeksikan nafsu jahat bahkan jauh sebelum adanya kebiasaan kejahatan. Dengan simbol ular ini manusia bukan personalisasi kejahatan mutlak. Tetapi manusia mnjadi jahat karena digoda.  Manusia sering dihadapkan pada ketidakmampuan untuk menggunakan kebebasannya, ia dikondisikan oleh keterbatasannya[12].
Dosa tidak pernah merupakan sesuatu yang baru, tetapi hanya meneruskan serta mengikutsertakan kuasa jahat yang mendahului manusia. Keselamatan dinantikan dari seorang penebus yaitu Adam yang kedua, yang pada akhir zaman akan merampungkan penebusan yang sudah dimulai dengan menciptakan bumi yang baru dan menggenapkan sejarah umat manusia.
d.             Mitos orfis. Kedudukan mitos ini terisolir, tetapi pengaruhnya besar sekali dalam kebudayaan barat[13]. Contohnya, mitos tentang jiwa yang diasingkan, berasal dari tradisi Yunani yang disebut orfisme. Mitos ini terpengaruh dengan perkembangan filsafat Yunani, khususnya platonisme dan  neo-platonisme. Mitos ini memecahkan manusia ke dalam jiwa dan tubuh. Jiwa datang dari tempat lain dan mempunyai status ilahi tetapi sekarang terkurung dalam tubuh. Karena itu, manusia terjatuh sebab jiwanya dikaitkan dengan tubuh. Dalam keadaan itu kejahatannya semakin bertambah dan semakin bertambah pula kerinduan akan pembebasan. Pembebasan itu diperoleh melalui jalan pengetahuan, khususnya pengetahuan bahwa tubuh itu hanya hawa napsu dan bahwa jiwa harus menentangnya untuk sekali lagi mencapai taraf ilahi.

6.      PENUTUP
Tugas seorang filsuf adalah menganalisa tentang simbol-simbol  dan mitos-mitos yang mengungkapkan pengalaman manusia terhadap kejahatan. Tindakan tersebut merupakan sebuah usaha untuk menggali dan memahami kebenaran yang terkandung dalam semuanya itu. Menanggapi pandangan seperti itu, Ricoeur berpendapat bahwa di sini ia harus mengadakan suatu pertaruhan. Baginya suatu refleksi filosofis mengenai kejahatan harus berpusat pada mitos tentang Adam. Dari situ, semua mitos lain akan dapat dimengerti dan sebagian dibenarkan, sebagian dikritik. Mitos tentang Adam itu menjelaskan kejahatan tidak hanya semata-mata etis, manusia bukan saja bersalah karena ia melakukan kejahatan dengan cara bebas. Secara  tidak terelakkan ia juga menjadi korban kejahatan karena ia menyerah kepada kejahatan yang sudah merajalela. Di sini Allah sebagai Allah yang tersembunyi (Deus absconditus) dan manusia tidak saja bersalah tetapi juga menjadi korban suatu misteri kejahatan (mysterium  iniquitatis), karena hal-hal yang tidak beres di dunia ini tidak pernah merupakan hukuman saja.





DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Bertens, K.
2001    Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Gramedia, Jakarta.
Baker, Anton
1995    Kosmologi & Ekologi Filsafat tentang Kosmos Sebagai Rumah Manusia, Kanisius, Yogyakarta.
Bertens, K
2006    Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Gramedia, Jakarta.

Haryatmoko
2003    Etika Politik dan Kekuasaan, Kompas, Jakarta .

Skripsi:
Mela, Agustinus
2010    Memahami Pluralitas Makana Dalam Teks Melalui Metode Hermeneutika Paul Ricoeur, Skripsi FT-USD, Yogayakarta, 24.







[1] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Gramedia, Jakarta 2001, 254.
[2] Agustinus Mela, Memahami Pluralitas Makana Dalam Teks Melalui Metode Hermeneutika Paul Ricoeur, Skripsi FT-USD, Yogayakarta 2010, 24.
[3] Anton Baker, Kosmologi & Ekologi Filsafat tentang Kosmos Sebagai Rumah Manusia, Kanisisus, Yogayakarta 1995, 243.
[4] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX; Jilid II Prancis, 446.
[5] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX; Jilid II Prancis, 446.
[6] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX; Jilid II Prancis, 446.
[7] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Gramedia, Jakarta, 2006, 294-295.
[8] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, 295.
[9] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, 295.
[10] Bdk. K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, 296.
[11] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, 297.
[12] Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta ,Kompas, 2003, 87
[13] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, 299.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar