1.
PENGANTAR
1.1.
Riwayat
Hidup dan Karya Paul Ricoeur
Paul Ricoeur
dilahirkan di Valence, Prancis Selatan, tahun 1913 dan menjadi yatim piatu dua
tahun kemudian. Ia berasal dari keluarga Kristen Protestan yang saleh dan
dianggap sevagai salah seorang cendikiawan Protestan yang terkemuka di Prancis[1].
Ia dibesarkan di rennes. Di Lycee ia
pertama kali berkenalan dengan filsafat melalui R. Dalbiez, seorang filsuf
berhaluan thomisitis yang terkenal karena dialah salah seorang Kristen pertama
yang mengadakan suatu studi besar tentang psikoanalisa Freud (1936). Ia
memperolah licence de philosphie pada tahun 1933, lalu mendaftar pada
Universitas Sorbone di Paris guna mempersiapkan diri untik agregation de philosophie yang diperolehnya pada tahun 1935. Di
Paris ia antar lain berkenalan dengan gabriel Marcel yang akan mempengaruhi
pemikirannya secara mendalam. Setelah mengajar setahun di Colmar, ia dipanggil
untuk memenuhi wajib militer (1937-1939). Pada waktu mobilisasi ia masuk lagi
ketentaraan Prancis dan dijadikan tahanan perang sampai akhir perang (1945).
Dalam tahanan di Jerman itu ia mempelajari karya-karya Husserl, Heidegger dan
jaspers. Bersama dengan sahabat dan sesama tahanannya, Mikel Dufrenne, ia
menulis buku Karl Japers at la
philosophie de l’existence (1947) (Karl Jaspers dan Filsafat Eksistensi).
Pada tahun yang sama diterbitkan juga bukunya Gabriel Marcel et Karl Jaspers, studi perbandingan antara dua tokoh
eksistensialisme yangmenarik banyak perhatian pada waktu itu.
Sesudah perang
ia menjadi dosen filsafat pada College
Cevenol, pusat Protestan internasional untuk pendidikan dan kebudayaan di
Chambon-sur-Lignon (Haute Loire). Tahun 1948 ia mengganti Jean Hyppolite
sebagai profesor filsafat di Universitas Strasbourg. Tahun 1950 ia meraih gelar
docteurs es letters. Sebagai tesis
utama diajukannya jilid pertama dari Philosphie
de la volonte (Filsafat Kehendak) yang diberi anak judul Le volonte et l’involontiare (1950)
(Yang Dikehendaki dan yang Tidak Dikehendaki) dan sebagai tesis tambahan
terjemahan karya Husserl Ideen I
dengan pendahuluan dan komentar, yang sudah mulai dikerjakan dalam tahanan
diJerman. Dua karya ini mengakibatkan Ricoeur segera dianggap sebagai seorang
ahli terkemuka di bidang fenomenologi. Sekitar waktu itu Ricoeur mepunyai
kebiasaan setiap tahun membaca karya-karya lengakap salah seorang filsuf besar:
dari Plato serta Aristoteles sampai dengan Kant. Dengan cara demikian ia
memperoleh suatu pengetahuan mendalam dan luas tentang seluruh tradisi filsafat
barat. Dengan cara itu pula Ia tak pernah membiarkan diri terjebak dalam satu
mode filosofis yang sempit, misalnya seperti eksistensialisme pada waktu itu.
Di kemudian hari ia mendalami serta menggunakan juga filsafat analitis
(Wittgenstein, Austin, Searle, dan lain-lain) dan dengan demikia termasuk
sedikit sekali filsuf Prancis yang mengenal tradisi filosofis khas nggris itu.
Tetapi pandangan luas dan terbuka Ricoeur tidak terbatas pada wilayah filsafat
saja, ia menyoroti juga berbagai pokok politis, sosial, kultural, edukatif, dan
teologis. Jasa-jasanya untuk teologi misalnya menjadi alasan bagi Universitas
katolik Nijmegen, Nederland, untuk menganugerahinya gelar “doktor teologi honoris causa” (1968). Amat sering ia diundang sebagai pembicara pada kongres, seminar, atau
lokakarya – di dalam dan luar negri- tentang beraneka ragam tema, di mana ia
selalu tampil sebagai filsuf yang menyoroti tema bersangkutan dari sudut
pandang filosofisnya. Ia juga banyak menulis dalam majalah Esprit, yang didirikan tahun 1932 oleh tokoh personalisme Kristen,
Emmanuel Mounier (1905-1950) , dan majalah Christianisme
social, organ bagi gerakan sosial Protestan di Prancis.
Ricoeur diangkat
sebagai profesor filsafat di Universitas Sorbone pada tahun 1956. Tahun 1960 ia
mempublikasikan jilid kedau dari Philosophie
de la volonte dengan anak judul Finitude
et culpibilite (Kberhinggan dan Kebersalahan); jilid kedua ini terdiri atas
dua bagian (dua buku tersendiri)
masing0masing berjudul La symbolique du mal (Simbol-Simbol tentang Kejahatan).
Ceramah-ceramah yang diberikan di Yale University, Amerika Serikat (1961), dan
Universitas Leuven, Belgia (1962), dikembangkan lebih lanjut menjadi karya
besar Del l’interpretaion. Essai sur
Freud (1965) (Perihal Interpretasi. Esei tentang Freud)
Karena
Universitas Sorbonne sudah lama tidak sanggup menampung jumlah mahasiswa yang
membengkak terus, sekitar tahun 1950-an pemerintah Prancis merencanakan suatu
kampus universiter baru di Nanterre, pinggiran kota Paris. Di situ serentak
juga diusahakan suatu pembaharuan universitas dengan metode-metode pengajaran
yang baru dan tempat tinggal bagi mahasiswa-mahasiswa dan dosen-dosen di kampus
yang sama. Karena ia sudah lama ingin mendapat kontak lebih erat dengan para
mahasiswa dan karena pembahuruan perguran tinggi dianggapnya suatu tantangan
yang tidak boleh dilewti, Ricoeur mengajukan permohonan agar dapat dipindahkan
ke Nantrre, dan dikabulkan (1966).
Tetapi justru di
kampus naterre dengan gedung-gedung beton raksasa di tengah perkampungan buruh
menjadi pusat “revolusi mahasiswa” yang pecah dua tahun kemudian dan nayris
menjatuhkan pemerintahan jendral de Gaulle. Konon mahasiswa Ricoeur menjadi
pelopor dalam gerakan ini. Ketika
kerusuhan terjadi, dekan fakultas sastra mengundurkan diri. Seteleh dibujuk
Ricoeur akhirnya menerima jabatn itu, dan menjadi dekan selama satu tahun (Maret 1969-Maret 1970).
Baginya periode itu menjadi tahunyang sangat berat.
Sesudah
pengalaman pahit itu, ia mengajar sebagai profesor tamu di Universitas Leuven,
Belgia. Sejak tahun 1973 ia kembali Naterre (sekarang disebut Universitas Paris
X) dan di samping itu setiap tahun mengajar juga beberapa bulan di Universitas
Chicago. Di Paris ia menjadi direktur Centre
d’etudes phenomenologiques et hermeneutiques (Pusat studi tentang
fenomenologi dan hermeneutika). Dan dalam periode ini banyak menaruh perhatian
pada masalah-masalah filsafat bahasa dan hermeneutika. Sebuah buku tebaly ang
membawakan delapan studi tentang metafora terbit tahun 1978 dengan judul La metaphore vive (Metafora yang hidup).
Ricoeur
meninggal dunia pada tanggal 20 Mei 2005 dalam usia 92 tahun. Tahun sebelumnya
ia menutup karier sebagai penulis selama 70 tahun dengan karangan Parcours de la reconnaissanse (Perjalanan
Utang Budi)[2].
2.
KARYA-KARYA
Paul Ricoeur (1913–2005) secara
luas dikenal sebagai salah satu filsuf yang khas dalam zaman ini. Dari antara
berbagai bukunya, terdapat dua volume filsafat kehendak, yakni, Freedom and Nature: The Voluntary and the
Involuntary (1950), dan dua bagian volume yang berjudul Finitude and
Culpability, yang bagian-bagiannya antara lain Fallible Man (1960)
and The Symbolism of Evil (1960); Freud and Philosophy: An Essay on
Interpretation (1965); The Rule of Metaphor (1975), tiga volume Time and Narrative
(1983-1985); bahan kuliah di Gifford yang dipublikasikan,seperti Oneself as
Another (1990,); Memory, History, Forgetting (2000) dan The
Course of Recognition (2004). Sebagai tambahan atas buku-bukunya, terdapat
lebih dari 500 essay, yang dikumpulkan dala 10 volume. Di antaranya yang
terkenal adalah From Text to Action
(1986) dan The Just (1995).
Buku-bukunya
antara lain:
- Freedom
and Nature: The Voluntary and the Involuntary
- History
and Truth,
- Fallible
Man
- The
Symbolism of Evil
- Freud
and Philosophy: An Essay on Interpretation
- The
Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics
- Political
and Social Essays
- The
Rule of Metaphor: Multi-Disciplinary Studies in the Creation of Meaning in
Language,
- Interpretation
Theory: Discourse and the Surplus of Meaning
- The
Philosophy of Paul Ricoeur: An Anthology of his Work
- Hermeneutics
and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation
- Time
and Narrative, 3 vols
- Lectures
on Ideology and Utopia
- From
Text to Action: Essays in Hermeneutics II
- À
l’école de la philosophie.
- Le
mal: Un défi à la philosophie et à la théologie.
- Oneself
as Another.
- A
Ricoeur Reader: Reflection and Imagination.
- The
Just
- Critique
and Conviction
- Memory,
History, Forgetting
- Le
Juste II.
- The
Course of Recognition
3.
MAKNA
SIMBOL
Hermeneutika dan interpretasi tidak pernah lepas
dari simbol-simbol. Salah satu simbol adalah bahasa. Di sini batasan
pembahasannya terletak pada usaha menafsirkan bahsa tulisan yang tertuang dalam
kata-kata. Sebagai sebuah simbol, kata-kata memilki makna yang dan intensi tertentu.
Dengan demikian, tujuan dari hermeneutika adalah menghilangkan misteri yang
terdapat dalam sebuah simbol (kata-kata) dengan cara membuka selubung daya-daya
yang belum diketehui dan tersembunyi di dalam simbol-simbol tersebut. Adanya
simbol, mengundang kita untuk berpikir sehingga simbol itu sendiri kemudian
menjadi kaya akan makna dan kembali makna yang asli.
Simbola
adalah lambang yang mewakili nila-nilai tertentu. Meskipun simbol bukanlah nila
itu sendiri, namun simbol sangata dibutuhkan untuk kepentingan penghayatan akan
nila-nilai yang diwakilnya. Simbol dapat digunakan untuk apa saja. Misalnya
saja untuk ilmu pengetahuan, kehidupan sosial dan keagamaan. Bentuk simbol
tidal hanya berupa benda kasta mat, namun juga memlalui gerakan dan ucapan. Simbol
juga dapat digunakan sebagai infrasturktur bahasa yang dikenal dengan bahasa
simbol.
Kerap istilah simbol dicampurkan dengan istilah
tanda. Misalnya cukup biasalah berbicara tentang ‘simbol-simbol’ matematis, dan
tentang ‘tanda-tanda’ religius. Akan tetapi dari pihak tinjauan prinsipal lebih
baik mereka dipisahkan dengan jelas.
Simbol berkaitan dengan kekayaan komunikasi
manusiawi. Simbol membawa penandaan dalam hidup manusia ke taraf yang paling
mendalam. Komunikasi manusiawi bisa menjadi begitu intim dan fundamental,
sehingga terlibat seluruh pemahaman dan perasaannya, dan sudah tidak cukuplah
cara berbicara dan berkomunikasi dengan tanda yang biasa-biasa. Tidak semua
yang efesiensi praktis. Justru simbol memungkinkan bagi manusia untuk
menintegrasikan isi paling mendalam itu dalam pergaulan dan kehidupan secara
teratur. Bahkan tidak ada jalan lain: antarsubjetivitas secara esensial bersifat
simbolik, dan simbol itu konstitutif bagi realitas antropologis. Tanpa simbol
manusia tidak dapat bergaul dan berkomunikasi dengan lingkungannnya secara
tuntas dan maksimal[3].
4.
SIMBOL-SIMBOL
KEJAHATAN
Ricoeur mempelajari kejahatan konkret
dalam eksistensi manusia. Untuk dapat menyelidiki kejahatan sebagai kenyataan
Ricoeur tidak bertolak dari pandangan-pandangan dan teori-teori kejahatan, ia
ingin memperlihatkan bagaimana manusia – dan konkret itu berarti manusia
beragama – mengalami kejahatan – atau lebih tepat alagi – bagaimana manusia itu
mengakui kejahatan[4].
Kejahatan itu bersifat simbolis. Untuk
memahami itu, Ricoeur merefleksikan tiga symbol yang digunakan manusia untuk
mengungkapkan pengalamannya, yaitu; noda, dosa dan kebersalahan.
a.
Noda adalah bahwa kejahatan dihayati sebagai sesuatu ‘pada
dirinya’ (in itself)[5].
Kejahatan itu dianggap sebagai seuatu yang merugikan. Noda itu datang dari luar dan dengan cara
magis menimpa manusia. Kejahatan ini adalah
kejadian yang obyektif dan karena itu
dimensi simbolis tidak dapat hilang seluruhnya dari penghayatan mengenai
kejahatan.
b.
Dosa berarti manusia
melakukan suatu kejahatan dihadapan
Tuhan[6]. Symbol ini pertama kali timbul dalam kesadaran
religious bangsa Israel pada zaman nabi-nabi yang selalu menekakan bahwa jika
tidak bertindang sesuai dengan perintah tuhan adalah dosa dan akan mendapatkan
kutuk. Di sini, berbuat jahat tidak lagi dipahami sebagai pelanggaran atas tata
susunan magis dan anonym, namun lebih berupa ketidaktaatan pada Allah.
Dosa dipahami sebagai terputusnya hubungan dialogal antara manusia dengan
Tuhan. Manusia mulai meninggalkan pedoman hidup dari Tuhan dan mengikuti jalan setan. Selain itu, simbol
dosa pun menunjuk pada situasi di luar manusia, seperti perbudakan.
c.
Kebersalahan merupakan symbol yang digunakan untuk mengungkapkan terutama
beban dan kesusahan yang memberatkan dan menekan hati nurani.
Kesalahan berakar dari perbuatan
pribadi yang bebas, bukan lagi dari kuasa luar yang menyerap pribadi tersebut.
Karena itu, dituntut suatu tangung jawab atas tindakan tersebut. Berbuat salah
dipahami sebagai suatu pengkhianatan terhadap hakikat diri yang sebenarnya,
bukan seperti dosa sebagai suatu pemberontakan terhadap Tuhan.
5.
MITOS
Setelah mempelajari simbol-simbol dasar
di atas, Ricoeur mempelajari mitos-mitos dari mana asalnya kejahatan dan bagaimana kesudahannya
atau cara mengatasinya. Mitos-mitos boleh
disebut “symbol-simbol sekunder”, karena membeberkan dalam bentuk cerita
symbol-simbol dasar yang dipelajari sebelumnya, yang meupakan symbol-simbol
primer[7].
Menurut Ricoeur, ada tiga fungsi mitos tentang kejahatan yaitu;[8]
1.
Menyediakan
universalitas konkret bagi pengalaman manusia tentang kejahatan
2.
Membawa suatu orientasi
dan ketegangan dramatis
dalam hidup manusia
3.
Menjelaskan peralihan
dari keadaaan manusia yang asali keadaannya tidak berdosa sekarang penuh noda,
dosa, dan kebersalahan.
Mitos mempunyai suatu dimensi ontologis,
karena memandang hubungan antara keadaan manusia yang asali dengan keadaan
historisnya yang sekarang ditandai alienasi. Mitos tidak sama dengan alegori
sebab bahasa mitis tidak pernah diganti begitu saja dengan bahasa rasional. Orang
yang akan mempelajari tentag mitos harus
mulai dengan mengadakan klasifikasi. Ricoeur membedakan empat macam
mitos yang menyatakan
awal mula dan kesudahan kejahatan, yaitu : mitos kosmis, tragis, Adam dan
orfis.
a.
Mitos
kosmis. Dalam mitos ini kejahatan disamakan dengan khaos (keadaan kacau balau) yang terdapat pada awal mula dan sebaliknya
keselamatan atau pembebasan disamakan dengan penciptaan dunia[9].
b.
Mitos
tragis, menurut bentuknya mitos ini paling jelas dijumpai dalam tragedi-tragedi
Yunani (khususnya yang ditulis Aiskhylos). Dalam pandangan ini, dewa merupakan asal-usul kejahatan. Ada beberapa
istilah untuk dewa yang tidak berwujud
persona yaitu Moira (suratan nasib), theos (ketuanan) dan kakos daimon (roh jahat). Kejahatan
merupakan takdir yang menimpa seseorang karena ketidaktahuan atau kebutaan.
Tragik memuncak apabila sang palawan menentang nasib yang telah ditkdirkan dan
diramalkan tentang dia. Dengan itu, sang pahlawan mewujudkan nasib yang menimpa
dirinya dengan tidak mengenal apapun. Drama ketegangan itu menimbulkan fobos (ketakutan) akan kehidupan insani
yang terancam dan terkutuk, tetapi juga elos (kasihan) dengan eksisitensi
manusia yang karena ketakhadiran ilahi menjadi jahat dan penuh kesusahan[10].
c.
Dalam
mitos tentang Adam yang diceritakan
dalam kitab Kejadian, manusia sendirilah sumber dosa itu.
Mitos ini mengungkapkan dengan cara mitis penghayatan bangsa Israel mengenai
asal mula kejahatan
sebagai mana terdapat dalam pembahasan
tentang dosa[11].
Kejahatan berasal
dari lubuk hati manusia karena manusia tidak setia. Menurut Ricouer, ada dua
segi dan akibat dari mitos Hibrani yaitu
menurut skema pertama, peralihan dari keadaan baik ke keadaan jahat berlangsung
karena satu orang, satu perbuatan dan dalam satu saat. Satu orang yaitu Adam
mewakili seluruh umat manusia, bersama dengan diri Adam semua manusia jatuh
dalam dosa. Dengan Adam memakan buah terlarang, situasi hidup manusia berubah
menjadi keadaan terkutuk.
Di samping itu, terdapat suatu skema
kedua di mana terjatuhnya manusia digambarkan sebagai suatu drama yang
mengikutsertakan beberapa tokoh dan fase. Ada peran dari tokoh lain yaitu Hawa
dan ular. Ular melambangkan kejahatan yang berada di luar manusia, seperti
halnya dengan simbol noda. Ungkapan dari luar mau menekankan bahwa kejahatan
memang sudah ada sebelum manusia melakukan. Ular ada sebelum manusia
memproyeksikan nafsu jahat bahkan jauh sebelum adanya kebiasaan kejahatan.
Dengan simbol ular ini manusia bukan personalisasi kejahatan mutlak. Tetapi
manusia mnjadi jahat karena digoda.
Manusia sering dihadapkan pada ketidakmampuan untuk menggunakan
kebebasannya, ia dikondisikan oleh keterbatasannya[12].
Dosa tidak pernah merupakan sesuatu yang baru, tetapi
hanya meneruskan serta mengikutsertakan kuasa jahat yang mendahului manusia.
Keselamatan dinantikan dari seorang penebus yaitu Adam yang kedua, yang pada
akhir zaman akan merampungkan penebusan yang sudah dimulai dengan menciptakan
bumi yang baru dan menggenapkan sejarah umat manusia.
d.
Mitos
orfis. Kedudukan mitos ini terisolir, tetapi pengaruhnya besar sekali dalam
kebudayaan barat[13].
Contohnya, mitos tentang jiwa yang diasingkan, berasal dari tradisi Yunani yang
disebut orfisme. Mitos ini terpengaruh dengan perkembangan filsafat Yunani,
khususnya platonisme dan neo-platonisme.
Mitos ini memecahkan manusia ke dalam jiwa dan tubuh. Jiwa datang dari tempat
lain dan mempunyai status ilahi tetapi sekarang terkurung dalam tubuh. Karena
itu, manusia terjatuh sebab jiwanya dikaitkan dengan tubuh. Dalam keadaan itu
kejahatannya semakin bertambah dan semakin bertambah pula kerinduan akan
pembebasan. Pembebasan itu diperoleh melalui jalan pengetahuan, khususnya pengetahuan
bahwa tubuh itu hanya hawa napsu dan bahwa jiwa harus menentangnya untuk sekali
lagi mencapai taraf ilahi.
6.
PENUTUP
Tugas seorang
filsuf adalah menganalisa tentang simbol-simbol
dan mitos-mitos yang mengungkapkan pengalaman manusia terhadap
kejahatan. Tindakan tersebut merupakan sebuah usaha untuk menggali dan memahami
kebenaran yang terkandung dalam semuanya itu. Menanggapi pandangan seperti itu,
Ricoeur berpendapat bahwa di sini ia harus mengadakan suatu pertaruhan. Baginya
suatu refleksi filosofis mengenai kejahatan harus berpusat pada mitos tentang
Adam. Dari situ, semua mitos lain akan dapat dimengerti dan sebagian dibenarkan, sebagian dikritik.
Mitos tentang Adam itu menjelaskan kejahatan tidak hanya semata-mata etis,
manusia bukan saja bersalah karena ia melakukan kejahatan dengan cara bebas.
Secara tidak terelakkan ia juga menjadi
korban kejahatan karena ia menyerah kepada kejahatan yang sudah merajalela. Di
sini Allah sebagai Allah yang tersembunyi (Deus absconditus) dan manusia tidak
saja bersalah tetapi juga menjadi korban suatu misteri kejahatan
(mysterium iniquitatis), karena hal-hal
yang tidak beres di dunia ini tidak pernah merupakan hukuman saja.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Bertens, K.
2001 Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Gramedia,
Jakarta.
Baker, Anton
1995 Kosmologi
& Ekologi Filsafat tentang Kosmos Sebagai Rumah Manusia, Kanisius, Yogyakarta.
Bertens,
K
2006 Filsafat
Barat Kontemporer Prancis, Gramedia, Jakarta.
Haryatmoko
2003 Etika Politik dan Kekuasaan,
Kompas, Jakarta .
Skripsi:
Mela, Agustinus
2010 Memahami
Pluralitas Makana Dalam Teks Melalui Metode Hermeneutika Paul Ricoeur,
Skripsi FT-USD, Yogayakarta, 24.
[2] Agustinus
Mela, Memahami Pluralitas Makana Dalam
Teks Melalui Metode Hermeneutika Paul Ricoeur, Skripsi FT-USD, Yogayakarta
2010, 24.
[3] Anton Baker,
Kosmologi & Ekologi Filsafat tentang
Kosmos Sebagai Rumah Manusia, Kanisisus, Yogayakarta 1995, 243.
[4] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX; Jilid II Prancis, 446.
[5] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX; Jilid II Prancis, 446.
[6] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX; Jilid II Prancis, 446.
[8] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, 295.
[10] Bdk. K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, 296.
[11] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, 297.
[13] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, 299.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar