Laman

Sabtu, 29 Maret 2014

Resensi film: The Lady



Resensi Film
Jdul Film                                 : The Lady
Sutradara                                : Luc Besson             
Skenario/Cerita                      : Rebecca Frayn
Pemeran                      : Michelle Yeoh, David Thewlis, Jonathan Woodhouse,    Jonathan Ragget

KETIKA CINTA HARUS MEMILIH
 “Mickey!”. Seruan tertahan itu terlontar dari bibir seorang istri setiap kali tersambung dengan suami tercinta di telepon. Seruan pembuka tadi lantas dibalas oleh sang suami dengan sahutan “Suu!”
Mickey dan Suu memang bukan merupakan pasangan biasa. Sang istri bukanlah perempuan biasa. Dialah Aung Suu        Kyi (Michelle Yeoh), seorang pejuang prodemokrasi dan tokoh oposisi asal Myanmar juga seorang peraih hadiah Nobel perdamaian pada tahun 1991. Sementara almarhum suaminya, “Mickey” Michael Aris (David Thewlis), merupakan seorang yang berkebangsaan Inggris, almarhum adalah peneliti senior dari Kajian Budaya Tibet dan Himalaya di St. Antony College, Oxford University, Inggris.
The Lady merupakan film yang tampak dibuat untuk menggugah simpati pemirsa dengan pendekatan “sederhana” yakni memotret kisah perjuangan Suu Kyi dan kisah kasihnya dengan sang suami Michael Aris. Suatu kebetulan juga film ini kini menemui momentumnya, beredar menjelang Myanmar  menggelar pemilu pada tanggal 1 April yang lalu. Pemilu yang berujung pada kemenangan mutlak Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi yang sekaligus akan membawanya menjadi anggota parlemen Myanmar
Film ini dibuka dengan adegan di mana Suu Kyi kecil berada dalam pangkuan sang ayah, Jendral Aung San, seorang tokoh dan pejuang kemerdekaan Myanmar yang sangat berkomitmen. Dalam film ini ditayangkan adegan bagaimana sebelum meninggalkan Suu Kyi kecil di bangku, Aung San menyematkan sekuntum anggrek di telinga putrinya. Di kemudian hari, dalam setiap penampilannya, Suu Kyi selalu menyematkan anggrek di telinganya, penampilan inilah yang kemudian membuatnya dijuluki ”Si Anggrek Baja”.
            Adegan Aung San yang memamangku Suu Kyi kecil merupakan pertemuan terakhir Suu Kyi dengan ayahnya, sebelum sang ayah akhirnya dibunuh oleh rival politiknya pada tahun 1974. Meski tak disinggung dalam film ini, rumor sejarah menyebut pihak Inggris sebenarnya berada dibalik kelompok rival politik tersebut.
            The Lady garapan sutradara Luc Besson ini tak hanya mengeksplorasi pergulatan politik yang sedang berkecamuk di Myanmar, tetapi Besson dan penulis naskah Rebecca Frayn juga sengaja memotret sisi “biasa” dari Suu Kyi, yakni hubungannya dengan sang suami, Michael Aris. Setelah plot pembunuhan Aung San, kisah yang lebih banyak intensif bergerak adalah masa di mana Suu Kyi telah berkeluarga bersama Michael Aris. Pasangan yang awalnya tinggal di Oxford, Inggris ini dikaruniai dua orang putra yakni Alexander  (Jonathan Woodhouse) dan Kim (Jonathan Ragget).
            Keadaan berubah ketika sang ibu sakit tahun 1988, Suu Kyi kemudian pulang ke Yangon dan meninggalkan keluarganya di Oxford. Ia datang di tengah kekacauan politik berdarah di Myanmar. Sebagai seorang putri jendral yang dihormati, Suu Kyi dipandang mampu menjadi seorang pemimpin. Kemudian, atas desakan para aktivis, mahasiswa, serta kalangan akademis yang mengetahui keberadaannya, Suu Kyi akhirnya bersedia memimpin pergerakan demi memperjuangkan tegaknya demokrasi di Myanmar yang sudah lama diperintah oleh junta militer yang sangat otoriter. Pilihan tersebut lantas membuat junta militer menjatuhkan tahanan rumah terhadap Suu Kyi selama belasan tahun sejak tahun 1989. Sejak saat itulah, Suu Kyi berpisah dengan suami dan anak-anaknya.
            Dalam situsi seperti ini, Suu Kyi dihadapkan pada dua pilihan: negara atau keluarga. memilih kembali ke Oxford berarti menutup telinga terhadap jeritan  penderitaan rakyat, sebaliknya, memilih berjuang bersama rakyat berarti pula harus berpisah dengan keluarga. Di sinilah Suu Kyi ditantang. Pada akhirnya atas dukungan sang suami dan anak-anaknya, Suu Kyi rela berpisah dengan keluarganya dan memilih memperjuangkan kepentingan bangsanya. Keputusan ini merupakan pilihan yang tidak mudah. Tetapi karena cintanya kepada rakyat dan tanah air Suu Kyi memilih untuk tinggal dan berjuang bersama rakyatnya menghadapi junta militer yang berkuasa.
            Selain menyajikan adegan perjuangan seorang perempun, yang juga seorang ibu rumah tangga, film ini juga menyajikan hubungan penuh kasih antara Suu Kyi dengan Michael Aris. Hubungan yang ditampilkan oleh sang sutradara  Luc Besson adalah hubungan yang tidak banyak dipenuhi bumbu melodrama, paling tidak bukanlah romantika biasa.
            Cinta seperti apa yang terajut di antara dua jiwa tak biasa ini? Tanpa dialog dan adegan romantik, kasih yang terjalin antara keduanya terasa sangat menyentuh. Mulai dari kebanggaan yang terpancar dari sinar mata Michael saat menyaksikan Suu Kyi berpidato pertama kali di Pagoda Shwedagon di Yangon, higga dukungannya untuk perjuangan sang istri. Hubungan kasih ini tergambar juga dari intensitas emosi dalam seruan tertahan Suu Kyi setiap kali menyebut nama suaminya Michael dengan sapaan “Mickey” di telepon.  Keikhlasan dan keberanian Michael yang terjun membantu perjuangan politik sang istri, hingga kepedihan Suu Kyi saat mendengar berita wafatnya Michael melalui radio merupakan gambaran lain dari hubungan yang sangat erat tersebut.
            Melalui film The Lady, cinta digambarkan melampui egoism, pun tanpa keluh kesah. Makna cinta diwujudkan dengan keikhlasan memberi dan mendukung satu dengan yang lain hingga maut menjemput. Hal ini nampak dari perjuangan seorang Michael Aris yang tidak mau memberitahukan kepada sang istri perihal penyakit yang dideritanya. Semangat ini tentunya dilandasi oleh cinta dan pengertian yang besar dari seorang suami kepada sang istri yang berjuang demi kepentingan yang lebih besar yakni demi rakyat dan tanah airnya.
Memang, bagaimanapun The Lady juga masih memiliki sisi ketidaksempurnaan. Skenario Rebecca Frayn hanya menampilkan seputar kejadian yang “begitu-begitu saja” seputar pembentukan konteks politik  dan sejarah perjuangan Suu Kyi, hubungannya dengan Michael Aris dan penggambaran sutradara Besson tentang rezim junta militer terkesan terlalu elit layaknya sebuah pasukan dalam cerita kartun.
            Walaupun sutradara berhasil membawa penonton untuk merasakan duka yang dialami oleh Suu Kyi dalam perjuangannya, namun dalam film ini ada beberapa kisah yang  jika diperhatikan dengan cermat akan menjatuhkan karakter tokoh-tokoh dalam kisah ini. Misalnya saja ketika Sutradara menampilkan adegan pemimpin Junta Militer yang meminta bantuan seorang dukun wanita untuk meramalkan masa depannya.
            Adegan yang juga dapat menjatuhkan karakter dari film ini yakni ketika dalam beberapa adegan sutradara Luc Besson menampilkan sosok Suu Kyi sebagai pribadi yang lebih banyak menangis, sifat seperti ini secara tidak langsung telah melemahkan karakter Suu Kyi sebagai seorang pemimpin yang seharusnya kuat dan tegar menghadapi setiap cobaan.
            Lepas dari kekurangan yang ada, penulis naskah Rebecca Frayn dan sutradara Luc Besson secara umum telah berhasil menggugah emosi penonton untuk merasakan perjuangan seorang perempuan yang berani memilih berpisah dengan keluarganya untuk bersama rakyatnya berjuang menegakkan demokrasi di Myanmar.

Linus Ngaba

Selasa, 11 Maret 2014

Renungan.....



Perkawinan di Kana (Yoh 2:1-11)

Ketika kita mengadakan pesta atau hajatan yang besar, kita pasti akan mempersiapkan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin. Namun yang terbaik yang kita siapkan, belum tentu menghasilkan perhelatan terbaik seperti yang kita harapkan. Sering ada hal tak terduga yang bisa mengganggu, atau bahkan merusak dan mengacaukan sebuah acara besar.

Hal seperti itulah yang terjadi pada pesta perkawinan di Kana, ketika mereka kekurangan, bahkan kehabisan anggur di tengah-tengah acara. Keadaan serupa sering terjadi bukan hanya dalam pesta, namun dalam keseluruhan hidup kita. Kita bisa merancang kehidupan ini dengan sebaik-baiknya. Ada orang bekerja keras untuk mencapai hal-hal tertentu yang mereka anggap sebagai tanda keberhasilan hidup, misalnya lewat prestasi dalam belajar, pertemanan dll. Ada yang lain, yang atas nama “mencari kebahagiaan”, kemudian melakukan hal-hal yang sebenarnya merusak hidup mereka, seperti seks bebas, narkoba dan kesenangan-kesenangan lainnya. Yang pasti, orang mencari keberhasilan dan kebahagian dalam hidup ini, dengan cara yang mereka anggap baik. Namun hal itu belum tentu membawa kebaikan dalam hidup mereka, bahkan sering membawa kesakitan dan penderitaan. 

Hal yang sama juga dapat kita alami dalam hidup kita saat ini, khususnya sebagai pelajar atau mahasiswa. Misalnya, ketika kita telah berusaha belajar dengan tekun daan giat untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian atau perlombaan bahkan terkadang hingga larut malam, namun ketika berada di ruang ujian, kita bisa saja lupa dan tidak mengingat semua yang kita pelajari, akibatnya kita bisa saja mendapatkan nilai yang tidak memuaskan. Itulah salah satu contoh bagaimana kita harus mengalami yang namanya jatuh bangun utuk menjadi pribadi yang lebih baik dari hari kemarin. 

Kisah  Perkawinan di Kana memperlihatkan bagaimana memiliki hidup yang sejati itu. Kita perlu memulai hidup ini dengan mengundang Yesus, tentu bukan sebagai tamu, tetapi sebagai pemilik kehidupan kita. Dan ketika ada masalah, kita pun perlu datang kepada Dia, yang dapat memberi solusi permasalahan kita. Dan ketika Yesus turun tangan, maka kita harus menjadi “tuan rumah” yang siap menerima Kehadiran-Nya dan membiarkan Dia berkarya daalam diri kita. Dengan demikian kita akan mampu memaknai semua peristiwa yang terjadi dalam hidup kita sebagai rencana dan rancangan dari Yesus sendiri.

Minggu, 09 Maret 2014

BELAJAR DARI SEORANG A. ADISUJIPTO



AGUSTINUS ADISUTJIPTO
SEORANG PROFESIONAL SEJATI

1.                  Pengantar
Bangsa Indonesia merupakan salah satu bangsa besar yang dijajah oleh penjajah dalam rentang waktu yang sangat panjang. Bangsa ini dijajah oleh penjajah Belanda selama kurang lebih tiga setengah abad. Pada masa itu rakyat Indonesia mengalami peristiwa kelam dalam hidupnya. Hak mereka dirampas oleh bangsa penjajah. Mereka menjadi terasing di tanah mereka sendiri. Apa yang mereka miliki dirampas dan direbut oleh penjajah dengan semenah-menah. Peristiwa ini memunculkan semangat dalam diri anak bangsa untuk memperjuangkan hak mereka yang telah dirampas oleh penjajah. Dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang mereka miliki mereka berjuang menghadapi penjajah.
Namun sayang, karena usaha mereka menjadi sia-sia dan tidak membawa hasil yang signifikan. Apa yang mereka perjuangkan bukannya mendatangkan hasil melainkan semakin membawa kesengsaraan bagi mereka sendiri. Perlawanan yang mereka berikan ditanggapi oleh penjajah dengan tindakan yang lebih keras dan tidak beradab. Hal ini tidak lepas dari kurangnya rasa persatuan dalam diri bangsa ini saat itu. Banyak kerajaan dan daerah-daerah yang berjuang sendiri-sendiri. Hal ini dimanfaatkan betul oleh penjajah untuk mengaduh domba bangsa ini. Akibatnya peperangan yang sebenarnya bertujuan melawan dan menumpas penjajah, malah menjadi bumerang bagi bangsa ini sendiri. Di mana – mana terjadi perang yang melibatkan anak bangsa ini sendiri.
Kenyataan ini berlangsung terus hingga muncul tokoh-tokoh nasional yang telah mengenyam pendidikan yang cukup dan mengetahui situasi bangsa ini. Dalam hal ini, beberapa tokoh yang terkenal misalnya: Soekarno dan M. Hatta. Merekalah yang menjadi pelopor utama perjuangan bangsa ini untuk bebas dari tangan penjajah. Gerakan – gerakan yang mereka bangun biasanya diawali dengan pendirian  organisasi, salah satu yang terkenal adalah Budi Utomo. Melalui organisasi – organisasi seperti ini, mereka mulai menggalang persatuan dan kesatuan di kalangan anak bangsa. Di lain pihak usaha untuk merebut kemerdekaan tidak hanya terjadi melalui jalur diplomasi tetapi juga melalui perjuangan yang terus – menerus dengan penyerangan – penyerangan dan penyerbuan terhadap markas – markas pasukan penjajah. Peperangan terjadi di mana – mana dan melibatkan seluruh anak bangsa. Akibatnya tidak sedikit pejuang kemerdekaan yang maju dan mati dalam medan pertempuran. Mereka - mereka inilah yang di kemudian hari dikenal sebagai pahlawan bangsa, orang yang berjuang demi kemerdekaan bangsanya sampai titik darah terakhir.
Dari sekian banyak pahlawan yang dimiliki oleh bangsa ini, salah seorang yang terkenal adalah Agustinus Adisutjipto. Dan yang membanggakan lagi beliau adalah seorang Katolik yang sangat taat dan saleh. Hal ini bukan hanya isapan jempol belaka tetapi direalisasikan dalam hidup nyata. Dalam setiap kesempatan ketika menjalankan tugasnya beliau tidak lupa membawa serta Rosario. Kenyataan ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa prinsip utama dan pertama yang dipegang oleh beliau yakni berjuang demi bangsa dan juga Gereja

2.                    Riwayat Hidup Agustinus Adisutjipto
Marsekal Muda (Pur) Agustinus Adisutjipto akrab dipanggil Cip namun kemudian rekan-rekannya memanggilnya Pak Adi merupakan putra pertama dari lima bersaudara buah perkawinan Roewidodarmo dan Latifatun. Adisutjipto, kelahiran Salatiga 3 Juli 1916, sangat gemar bermain sepakbola, naik gunung, tenis dan catur. Intelektualitasnya terasah lewat hobinya membaca buku-buku kemiliteran dan filsafat. Pribadinya dikenal pendiam, namun sangat reaktif bila harga dirinya terinjak.Ketika Jepang mendarat Maret 1942, peta penerbangan Hindia Belanda berubah. Adisutjipto yang ketika PD II pecah ditempatkan di skadron intai di Jawa beserta rekan-rekannya seperti Sujono, Sulistyo, dan Husein Sastranegara, tidak pernah lagi terbang. Semua yang berbau Belanda dimusnahkan.
Agustinus Adisutjipto sempat belajar di Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hoge School) di Jakarta, tetapi tidak selesai. Kemudian ia memutuskan untuk pindah ke Sekolah Penerbang Militaire Luchtvaart di Kalijati. Selesai pendidikan ia bertugas di Squadron Pengintai Udara.
Pada masa pendudukan Jepang, Adisutjipto bekerja pada perusahaan bus di Salatiga karena saat itu tidak satu pun orang Indonesia yang diperbolehkan menerbangkan pesawat. Sesudah Indonesia merdeka, ia menyumbangkan tenaga membina Angkatan Udara Republik Indonesia bersama S. Suryadarma, yang kemudian diangkat menjadi Kepala Staf AURI. Saat itu, tenaga penerbang sangat sedikit. Pesawat terbang hampir-hampir tidak ada, dan kalau pun ada sudah rongsokan. Teknisi-teknisi Indonesia berusaha memperbaiki pesawat tersebut. Tanggal 27 Oktober 1945, Adisutjipto berhasil menerbangkan sebuah pesawat. Penerbangan itu adalah penerbangan pertama yang dilakukan oleh putra Indonesia. Pada tanggal 1 Desember 1945 Adisutipto mendirikan Sekolah Penerbang di Yogyakarta, tepatnya di Lapangan Udara Maguwo, yang kemudian diganti namanya menjadi Bandara Adisutjipto, untuk mengenang jasa beliau sebagai pahlawan nasional. Di situ dididik kader-kader Angkatan Udara. Karena jasa-jasanya itu Adisutjipto disebut bapak Penerbang Indonesia.
Jabatan lain yang pernah dipegangnya ialah Wakil II Kepala Staf Angkatan Udara. Selain itu, pernah pula ditugasi ke India dan Filipina untuk mencari tenaga pelatih dan menyewa pesawat terbang. Di India, berkat bantuan Perdana Menteri Jawaharlal Nehru, ia berhasil mengadakan perundingan dengan Patnaik yang kemudian bersedia menyewakan sebuat pesawat Dakota.
Untuk kedua kalinya, bersama Abdulrahman Saleh, pada bulan Juli 1947, Adisutjipto pergi ke India. Penerobosan blokade udara Belanda menuju India dan Pakistan berhasil dilakukan. Mereka kembali membawa obat-obatan sumbangan Palang Merah Internasional untuk Palang Merah Indonesia, dengan menggunakan pesawat Dakota VT CLA. Pada tanggal 29 Juli 1947 waktu akan mendarat di Lapangan Terbang Maguwo, Yogyakarta, pesawat tersebut ditembaki oleh pesawat pemburu Belanda P-40 Kittyhawk sehingga jatuh dan terbakar. Marsekal Muda Adisutjipto pun gugur. Beliau dimakamkan di Pemakaman Umum Kuncen dan kemudian pada tanggal 14 Juli 2000 dipindahkan ke Monumen Perjuangan di desa Ngoto, Bantul, Yogyakarta.

3.                  Belajar dari Adisujipto
Setelah melihat riwayat hidup dan latar belakang waktu kehidupan Adisutjipto, kita dapat membayangkan bagaimana situasi dan kenyataan yang dihadapi oleh Adisutjipto pada waktu itu. Hal pertama yang kita pikirkan yakni bagaimana mungkin seorang tokoh yang beragama Katolik bisa menjadi sosok sentral dalam perjuangan kemerdekaan saat itu, khususnya di kalangan Tentara Nasional Angkatan Udara. Kita tentunya tahu bahwa penjajah yaang dihadapi bangsa ini merupakan orang – orang Belandah yang juga beragama Kristen. Dengan demikian menjadi jelas bahwa seorang yang beragana Kristen akan dianggap dan dipandang sebagai sosok penjajah atau sekurang –sekurangnya antek penjajah. Namun kita patut bangga akan seorang Adisutjipto, meskipun beliau adalah seorang Katolik beliau tetap diterima oleh bangsa ini. Tentunya ini tidak lepas dari prinsip yang dipegang oleh beliau yakni berjuang demi bangsa dan Gereja. Prisip ini pulalah yang menjadikan beliau dikenal sebagai sosok yang tenang dan sigap dalam menjalankan tugasnya.
Hal lain pula mengapa beliau diterima dengan tangan terbuka dalam usaha merebut kemerdekaan saat itu yakni adanya visi dan misi yang sama di kalangan anak bangsa, visi dan misi untuk secepatnya memperoleh dan menghirup udara kebebasan. Semangat ini pulalah yang mendorong anak bangsa untuk tidak memperdulikan latar belakang dan status sosial seseorang. Situasi dan kenyataan kelam yang dihadapi saat itu membuat anak bangsa menjadi bangsa yang senasib dan sepenanggungan. Dengan demikian di sana tidak ada lagi diskrimansi dan pembeda – bedaan kelompok. Seluruh anak bangsa bersatu padu memperjuangkan cita – cita yang sama dan luhur yakni kemerdekaan. Cita – cita inilah yang menjadikan bangsa ini itdak lagi mudah diperalat dan diadu domba oleh bangsa penjajah. Ini tentunya sangat berbeda dengan kenyataan hari – hari ini. Jika mengikuti pemberitaan di media elektronik maupun media cetak kita akan menemukan bagaimana para petinggi bangsa kita menggunakan kekuasaan yang mereka miliki untuk memperjuangkan dan mengusahakan kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok serta golongan. Kepentingan bangsa yang seharusnya mereka prioritaskan dan merupakan sebab mereka dipanggil menjadi kepentingan yang kesekian yang mereka bidik setelah kepentingan pribadi dan golongan terpenuhi.
Di lain pihak, penulis juga berpikir bahwa kekatolikan yang tertanam dalam diri Adisutjipto merupakan salah satu aspek lain yang menjadikan beliau sebagai pribadi yang  memiliki rasa tanggung jawab yang besar serta setia pada hal tersebut. Hal ini dibuktikan oleh Adisutjipto dalam pengabdiannya terhadap bangsa ini. Sebagai seorang tentara Adisutjipto sadar betul akan tantangan dan resiko yang akan dihadapinya, apalagi pada saat itu ketika bangsa ini berada dalam situasi genting yang menentukan sejarahnya. Namun itu tidak membuat beliau gentar dan takut. Iman katolik yang kuat menjadikan beliau sebagai pribadi yang siap menghadapi setiap kenyataan hidup. Iman katolik yang tertanam dalam diri beliau menjadikannya sosok yang berserah kepada Tuhan. Hal ini juga tetntunya berbeda dengan kenyataan sekarang ini, di mana lebih banyak orang yang mengandalkan kekuatan dan dayanya sendiri. Apa yang menurut mereka berharga akan mereka perjuangkan dengan sekuat tenaga, meskipun itu mengorbankan sesamanya.
Sebagai anak bangsa yang lahir pada zaman ini seharusnyalah kita menjadikan Adisutjipto sebagai sosok yang patut untuk diteladani. Salah satu pelajaran penting yang dapat kita petik dan jadikan pegangan dalam hidup adalah prinsip hidup beliau yakni menjadi pejuang bagi bangsa dan Gereja. Prinsip ini sangat penting jika menilik kenyataan yang sedang kita hadapi saat ini, di mana kita hidup sebagai minoritas di tengah mayoritas. Kenyataan ini tentunya menuntut profesionalitas dari kita yakni profesinalitas dalam tugas dan keyakinan (iman). Dalam hal ini kiranya Adisutjipto menjadi acuan yang tepat bagi kita dalam mengusahakan profesionalitas sejati, hingga kelak akhirnya kita dapat menjadi seorang professional sejati yang dapat membedakan mana kepentingan bangsa dan mana kepentingan Gereja.