Jdul Film :
The Lady
Sutradara :
Luc Besson
Skenario/Cerita :
Rebecca Frayn
Pemeran : Michelle
Yeoh,
David Thewlis, Jonathan Woodhouse, Jonathan
Ragget
KETIKA
CINTA HARUS MEMILIH
“Mickey!”. Seruan tertahan itu terlontar dari bibir
seorang istri setiap kali tersambung
dengan suami tercinta
di telepon. Seruan pembuka tadi lantas dibalas oleh sang suami dengan sahutan
“Suu!”
Mickey
dan Suu memang bukan merupakan pasangan biasa. Sang istri bukanlah perempuan
biasa. Dialah Aung Suu Kyi (Michelle Yeoh),
seorang pejuang prodemokrasi dan tokoh oposisi asal Myanmar juga seorang peraih
hadiah Nobel perdamaian pada tahun 1991. Sementara almarhum suaminya, “Mickey”
Michael Aris (David Thewlis), merupakan seorang yang berkebangsaan Inggris, almarhum
adalah peneliti senior dari Kajian Budaya Tibet dan Himalaya di St. Antony College, Oxford University, Inggris.
The Lady
merupakan film
yang tampak dibuat untuk menggugah simpati
pemirsa dengan pendekatan “sederhana” yakni memotret kisah perjuangan Suu Kyi dan kisah kasihnya dengan sang suami Michael Aris. Suatu kebetulan juga film ini kini menemui
momentumnya, beredar menjelang Myanmar
menggelar pemilu pada tanggal 1 April yang lalu. Pemilu yang berujung
pada kemenangan mutlak
Liga Nasional untuk
Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi yang sekaligus akan membawanya menjadi anggota
parlemen Myanmar
Film
ini dibuka dengan adegan
di mana
Suu Kyi kecil berada dalam
pangkuan sang ayah, Jendral Aung San, seorang tokoh dan pejuang kemerdekaan Myanmar yang sangat berkomitmen. Dalam film ini
ditayangkan adegan bagaimana sebelum meninggalkan Suu Kyi kecil di bangku, Aung
San menyematkan sekuntum anggrek di telinga putrinya. Di kemudian hari, dalam setiap penampilannya, Suu Kyi selalu menyematkan anggrek di
telinganya, penampilan inilah yang kemudian
membuatnya dijuluki ”Si Anggrek Baja”.
Adegan Aung San yang memamangku Suu
Kyi kecil merupakan pertemuan terakhir Suu Kyi dengan ayahnya, sebelum sang
ayah akhirnya
dibunuh oleh rival
politiknya pada tahun 1974. Meski tak disinggung dalam film ini, rumor sejarah
menyebut pihak Inggris sebenarnya berada dibalik kelompok rival politik
tersebut.
The
Lady garapan sutradara Luc Besson ini tak hanya mengeksplorasi pergulatan politik yang sedang berkecamuk
di
Myanmar, tetapi
Besson dan penulis naskah Rebecca Frayn
juga sengaja memotret sisi “biasa” dari Suu Kyi, yakni hubungannya dengan sang
suami, Michael
Aris. Setelah plot pembunuhan Aung San, kisah yang lebih banyak intensif
bergerak adalah masa di mana
Suu Kyi telah berkeluarga bersama Michael Aris. Pasangan yang awalnya tinggal
di Oxford, Inggris ini dikaruniai
dua orang putra yakni Alexander
(Jonathan
Woodhouse) dan Kim (Jonathan Ragget).
Keadaan berubah ketika sang ibu
sakit tahun 1988, Suu Kyi kemudian pulang ke Yangon dan meninggalkan
keluarganya di Oxford. Ia datang di tengah kekacauan politik berdarah di
Myanmar. Sebagai seorang
putri jendral yang dihormati, Suu Kyi dipandang mampu menjadi seorang pemimpin.
Kemudian, atas desakan para aktivis, mahasiswa, serta kalangan akademis yang mengetahui
keberadaannya, Suu Kyi akhirnya bersedia memimpin pergerakan demi
memperjuangkan tegaknya demokrasi di Myanmar yang sudah lama diperintah oleh
junta militer yang sangat otoriter. Pilihan tersebut lantas membuat junta militer menjatuhkan tahanan rumah terhadap
Suu Kyi selama belasan tahun sejak tahun 1989. Sejak saat itulah, Suu Kyi berpisah dengan suami dan anak-anaknya.
Dalam
situsi seperti ini, Suu Kyi dihadapkan pada dua pilihan: negara atau keluarga. memilih
kembali ke Oxford berarti menutup telinga terhadap jeritan penderitaan rakyat, sebaliknya, memilih
berjuang bersama rakyat berarti pula harus berpisah dengan keluarga. Di sinilah
Suu Kyi ditantang. Pada akhirnya
atas dukungan sang suami dan anak-anaknya, Suu Kyi rela berpisah dengan keluarganya dan memilih
memperjuangkan kepentingan bangsanya. Keputusan ini merupakan pilihan yang
tidak mudah. Tetapi karena cintanya kepada rakyat dan tanah
air Suu Kyi memilih untuk tinggal
dan berjuang bersama rakyatnya menghadapi junta militer yang berkuasa.
Selain menyajikan adegan perjuangan seorang perempun, yang juga seorang ibu rumah tangga, film
ini juga menyajikan hubungan penuh kasih antara Suu Kyi dengan Michael Aris. Hubungan
yang ditampilkan oleh sang sutradara Luc
Besson adalah hubungan yang tidak banyak dipenuhi bumbu melodrama, paling tidak
bukanlah romantika biasa.
Cinta
seperti apa yang terajut di antara dua jiwa tak biasa ini? Tanpa dialog dan
adegan romantik, kasih yang terjalin antara keduanya terasa sangat menyentuh.
Mulai dari kebanggaan yang terpancar dari sinar mata Michael saat menyaksikan
Suu Kyi berpidato pertama kali di Pagoda Shwedagon di Yangon, higga dukungannya
untuk perjuangan sang istri. Hubungan kasih ini tergambar juga dari intensitas
emosi dalam seruan tertahan Suu Kyi setiap kali menyebut nama suaminya Michael
dengan sapaan “Mickey” di telepon. Keikhlasan
dan keberanian Michael yang terjun membantu perjuangan politik sang istri, hingga
kepedihan Suu Kyi saat mendengar berita wafatnya Michael melalui radio
merupakan gambaran lain dari hubungan yang sangat erat tersebut.
Melalui film The
Lady,
cinta digambarkan melampui egoism, pun tanpa keluh kesah. Makna cinta diwujudkan dengan keikhlasan memberi dan mendukung
satu dengan yang lain hingga maut menjemput. Hal ini nampak dari perjuangan seorang Michael Aris yang
tidak mau memberitahukan kepada sang istri perihal penyakit
yang dideritanya. Semangat ini
tentunya dilandasi oleh cinta dan pengertian yang besar dari seorang suami
kepada sang istri yang berjuang demi kepentingan yang lebih besar yakni demi rakyat dan tanah airnya.
Memang, bagaimanapun The Lady juga
masih memiliki sisi ketidaksempurnaan. Skenario Rebecca Frayn hanya menampilkan
seputar kejadian yang “begitu-begitu saja” seputar pembentukan konteks politik dan sejarah perjuangan Suu Kyi, hubungannya
dengan Michael Aris dan penggambaran sutradara Besson tentang rezim junta
militer terkesan terlalu elit layaknya sebuah pasukan dalam cerita kartun.
Walaupun
sutradara berhasil membawa penonton untuk merasakan duka yang dialami oleh Suu Kyi dalam
perjuangannya, namun dalam film ini ada beberapa kisah yang jika diperhatikan
dengan cermat akan menjatuhkan
karakter tokoh-tokoh dalam kisah ini. Misalnya saja ketika Sutradara
menampilkan adegan pemimpin Junta Militer yang meminta bantuan seorang dukun wanita untuk
meramalkan masa depannya.
Adegan yang
juga dapat menjatuhkan karakter dari film ini yakni ketika dalam beberapa adegan sutradara
Luc Besson menampilkan sosok
Suu Kyi sebagai pribadi yang lebih banyak menangis, sifat seperti ini secara tidak
langsung telah melemahkan karakter Suu Kyi sebagai seorang pemimpin yang
seharusnya kuat dan tegar menghadapi setiap cobaan.
Lepas dari kekurangan yang ada, penulis
naskah Rebecca Frayn dan sutradara Luc Besson secara umum telah berhasil
menggugah emosi penonton untuk merasakan perjuangan seorang perempuan yang
berani memilih berpisah dengan keluarganya untuk bersama rakyatnya berjuang
menegakkan demokrasi di Myanmar.
Linus Ngaba